Minggu, 12 April 2015

Cerita Rakyat 'Sambas'


'LONG PIRAK'



Tak tik tok tak tik, suara itu kini tak lagi ada dirumah tua itu. Peristiwa sunyi sudah berlanjut tiga pekan. Biasanya penenun tua dengan alat tenun tenaga manusia itu selalu membuat riuh suasana. Tapi kini rumah berloteng dua itu sepi dari ketukan menenun benang jadi kain.

Debu dan sarang laba-laba sudah banyak terlihat di antara peralatan tenun purba, yang tebuat dari kayu, besi dan bambu: Dengan menganggurnya tenun tradisional, berarti penenun tua itu sudah kehilangan dua helai kain bercorak lunggi atau insang atau bercorak padang terbakar. Kain tenun tradisional Sambas yang dihasilkannya memang amat bermutu. Di kampungnya, memang dialah yang banyak mendapatkan order, baik dari agen maupun perorangan yang akan melangsungkan segala upacara.

Kalau penenun tua itu tidak nganggur, kain yang banyak dihiasi benang emas, dikerjakannya cuma delapan hari bahkan enaam atau tujuh hari. Berarti perempuan janda yang berumur lima puluh lima tahun ini sudah kehhilangan pendapatan sekitar tiga puluh ribu rupiah dari harga kain yang bernilai delapan puluh lima ribu rupiah, bahkan ada yang berharga seratus lebih perhelai.

Mentari pagi yang bersinar merah menerpa mukanya yang dimakan ketuaan. Sebuah pertanyaan muncul dari cucu tersayangnya. Tak biasanya neneknya itu duduk termenung di teras rumah pada pagi-pagi begini. Dia sudah hafal benar dengan kebiasaan-kebiasaan neneknya setiap pagi. Tapi sudah tiga pekan belakangan ini, kejadian itu selalu didapatkannya.

"Biasanya pagi-pagi begini nekwan (sebutan nenek dalam bahasa Sambas) sudah berada di lorong untuk menenun. Tidak berada di beranda", celoteh cucunya bernada heran.

"Apakah sekarang nekwan sudah tidak mendapatkan pesanan, atau benang katun dan benag emas sudah habis. Sehingga nekwan tak menenun", tanya cucunya kembali dengan sedikit nakal.

Along pirak terdiam sejenak (Along merupakan sebutan anak pertama). Pikirannya mulai membayang pada seperangkat tenunan tradisional sebanyak tiga buah. Yang banyak menghasilkan beraneka corak kain. Dia sadar, berbagai kain cual telah banyak membantunya dalam memberikan titel sarjana kepada tiga anaknya. Alat tenun tradisional inilah yang banyak berjasa.

Diapun masih ingat waktu segerombolan wisatawan menjenguknya, ingin melihat proses pembuatan kain tradisional Sambas. Dan masih terngiang ditelinganya waktu Pak Harun pimpinan rombongan akan pamit, sempat berpesan.

"Tenunan ibu bagus. Sangat berkesan kalau kain tenun ini dijadikan souvenir. Kalau bisa bu, diajarkan kepada anak cucu. Agar keberadaan tenun tradisional inti tidak punah termakan jaman. Coraknya begitu artistik".

Itulah pesan Pak Harun membuatnya terkesan. Lantas tambah giat menenun. Memang semenjak kedatangan rombongan wisatawan itu produktifitasnya semakin meningkat. Long pirak semakinberfikir ingin memajukan pendapatannya lewat home industri itu. Lantas bertambahlah penenun-penenun muda menjadi lima orang.

Tapi belakangan ini Along Pirak tidak seperti biasanya. Riang dan penuh canda. Dia lebih banyak termenung, menatap lanting didepan rumahnya.

"Nek..... Nekwan", tegur cucunya sedikit kuat.
Alongpirak hanya menoleh ke wajah cucunya dengan senyuman hambar.
"Apakah nekwan sakit atau...."
"Nekwan tidak sakit, tapi......"
"Tapi kenapa nek. Apa nekwan merasa capek, atau jemu menenun ataukah sudah kehilangan pelanggan"
"Bukan masalah itu Sum, Nekwan beberapa hari ini tidak menenun kain karena ingin beristirahat dulu"
"Tapi semua anak buah nenek kok ikut beristirahat" kata cucunya ingin tahu.

Along pirak tak sanggup menjawab. Kalsum sang cucu hanya terjawab oleh gerak gerik neneknya yang gelisah. Tatapan cucu semakin membuahkan tanda tanya melihat sorotan mata neneknya yang tajam. mereka saling beradu pandang. Ada getaran pilu menyengat batin Kalsum. Tapi bagi Along Pirak, tatapannya terasa kosong.

Sebuah gumpalan kekecewaan yang sebenarnya ada pada batinnya. Tak sanggup ia keluarkan. Tak sanggup nenek itu berbagi kisah duka kepada cucunya. Hanya dua raut wajah yang rada serupa ini, lama terdiam. Mereka sama-sama membisu. Bisa dalam berbagai praduga hanya Tuhan di atas sana yang mengetahui dua hati ini.

Sebenarnya Along Pirak bukannya merasa capek, sakit atau ingin beristirahat atau tidak ada pesanan. Tetapi sepucuk surat dari Mawardi anaknya yang sulung itu membuatnya banyak nganggur.  Memang surat dari Mawardi yang insinyur itu sudah tiga pekan diterimanya dari Pontianak. Sehingga tenunan tradisional yang melahirkan irama tak tik tok tak tik turut membisu selama tiga pekan juga.

Permintaan ketiga anak-anaknya yang sama sarjana itu ada benarnya, mengingat dia sudah tua. Dia disuruh hijrah ke Pontianak. Tapi bagi Along Pirak sendiri dia tidak mampu berpisah dengan teman setianya, seperangkat tenunan purba tradisional itu. Kini pupusla semua harapan Along pirak, kelima dara manis pembantunya.

"Nekwan.....nekwaaaannn.......", sapa cucunya heran. Karena neneknya seketika menunduk lesu. Tak bergairah.
Along pirak tetap tak menjawab. perasaan sedih tak terasa bergetar antar dua hati. Kalsum memeluk neneknya eratt-erat. Dipandangnya wajah neneknya. Ada sebening kaca kebahagiaan memudar. Pelukan cucunya merenggang setelah along pirak bersuara.

"Sum, bersihkan semua alat-alat tenun. Dan setelah itu panggilankan Dare, Buntat, Inang, Dayang, Tini", tegas Along Pirak. Mendengar itu kalsum merasa gembira. KEgembiraan itu terlukis dari gerakannya.

"Apakah nekwan akan menenun kembali?", tanya kalsum.
"Tidak", jawab Long Pirak sedih
"Jadi", tatap kalsum ke wajah neneknya penuh tanya.
Along pirak terdiam. Tatapannya pada cucu seakan-akan terpaksa. Kalsum heran. Sejuta tanya menguak batinnya apa gerangan yang terjadi?. Pertanyaan inilah yang mendesak Kalsum semakin ingin tahu.

"Sebenarnya ada apa nek?", Kalsum mendesak.
"Ya sebenarnya kita akan meninggalkan desa ini. Pergi ke kota menemui pamanmu. Dan semua alat tenun yang nenek suruh kemaskan adalah petanda berakhirnya kegiatan nenek menenun. Juga semua pembantu yang nenek suruh kesini hanyalah nenek ingin menyelesaikan upah-upah mereka".

Mendengar penjelasan Long Pirak, timbul pikiran kalsum apakah di Pontianak nantia ia tak lagi mengenakan kain tenun tradisional, dan apakah kelima anak buah neneknya masih bisa mempertahankan kain khas derahnya. Sementara tatapannya kosong kedepan memandang lanting-lanting yang juga merupakan khas daerahnya akankah semua itu pudar termakan oleh Zaman.








Source: Cerita Rakyat Kabupaten Sambas. Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sambas. 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar